GARDU SEBAGAI FENOMENA BUDAYA DAN PERUBAHAN FUNGSINYA

Rabu, 07 November 2012

Judul               : Penjaga Memori, Gardu di Perkotaan Jawa
Penulis             : Abidin Kusno
Penerjemah      : Chandra Utama
Penerbit           : Penerbit Ombak
Tahun terbit     : 2007
Tebal halaman : 154 halaman
Gardu, apa yag terlintas dalam otak kita ketika mendengar kata gardu? Bagi sebagian orang, gardu hanyalah sebuah bagunan kecil berukuran 4-8 m2. Bangunan ini biasa terdapat di pojok – pojok strategis lingkungan atau di depan pintu gerbang perumahan dilengkapi dengan baragam atribut atau identitas gardu. Memori masyarakat saat ini terkait gardu hanya sebatas fisik bukan fungsi apalagi kronologis sejarah. Mungkin bagi masyarakat keberadaan gardu dirasakan tidak memiliki banyak makna / fungsi. Ketika bicara tentang gardu maka yang terlintas hanyalah bangunan kubus tempat para kaum laki – laki berbincang ketika sedang bertugas jaga siskamling diselingi dengan guyonan politik terkait gosip yang berkembang di televisi / gosip yang terjadi di daerahnya ditemani dengan seduhan kopi panas sebagai pelepas dahaga dan kepulan asap rokok sebagai pembuka kebuntuan.
Buku Abidin Kusno dengan judul “Gardu di Perkotaan Jawa” mencoba menguliti kembali keberadaan gardu di lingkungan sosial masyarakat Indonesia, khusunya Jawa. Gardu sebagai ruang oleh penulis ternyata dapat diidentifikasi makna sosialnya sejak awal keadaannya. Makna sosial gardu sendiri ternyata terus berubah mengikuti kepentingan kuasa pada saat itu. Melalui struktur ruang gardu itu sendiri penulis membuka tabir bahwa gardu sebagai ruang ternyata memiliki makna simbolik tentang kekuasaan dan simbolisme.
Lewat karyanya ini, Abidin Kusno mampu mengamati dan mengkaji jejak – rekam gardu di Jawa sejak awal keadaannya di masa lalu hingga keadaannya yang sekarang. Gardu yang ketika kita lewati kita anggap bukan apa – apa dan mudah kita lupakan karena cuma sekadar pemanis jalan atau pelengkap perempatan, ternyata memiliki sejarah yang ikut mengiringi perkembangan peradaban kota – kota di Jawa selama berabad – abad. Melalui jejak – rekam tentang gardu, pembaca seperti disajikan sebuah film sejarah unik yang semua kronologis kejadian itu bergerak melalui satu objek yaitu gardu.
Ruang mengacu kepada suatu ide abstrak, suatu ruang hampa atau mati yang diisi oleh berbagai tempat manusia yang bersifat konkret dan spesifik. Berawal dari sinilah, Abidin mencoba merekonstruksi keberdaan gardu sebagai ruang hampa yang kemudian oleh manusia diatur fungsinya sesuai dengan kepentingan pemegang kuasa saat itu. Hal ini semakin mengukuhkan teori bahwa seringkali ruang – ruang kolektif juga diciptakan untuk merayakan berbagai kemajuan yang telah dicapai warga dan sebagai monumen bagi tokoh publik.
Foucault berkata bahwa seluruh sejarah tertulis ke dalam ruang – ruang. Pada saat yang sama ruang – ruang tersebut akan menjadi sejarah kekuasaan. Dengan demikian konsep ruang erat kaitannya dengan nilai sejarah yang ada. Inilah yang terjadi pada buku karya Abidin Kusno tentang gardu. Sebagai bangunan berukuran kecil yang bertempat di pinggiran struktur – struktur “monumental” gardu kerap diabaikan oleh para konservasionis dan peneliti perkotaan. Tetapi menurut Abidin kusno, gardu justu mempunyai signifikansi yang setara dengan monumen yang biasa dijumpai karena ia memainkan peran penting dalam mengekspresikan pandangan – pandangan politik, memuat ingatan – ingatan masyarakat, dan menentukan identitas teritorial dan kolektif. Disinilah penulis mencoba menyajikan gardu sebagai sebuah medium visual yang melalui ingatan – ingatan kolektif dibentuk dan ditransformasikan melintasi tatanan – tatanan historis yang berbeda.  
Keberadaan gardu di Indonesia senantiasa bertransformasi fungsi dan kedudukannya. Semua itu tergantung pada kuasa pada saat itu. Gardu pada masa pasca reformasi atau setelah runtuhnya rezim Soeharto dimanfaatkan dengan sangat baik oleh PDIP untuk menjadikan gardu sebagai basis kekuatan partai. Dengan dibangunnya posko – posko di berbagai pelosok diharapkan komunikasi antara kalangan elit partai dengan basis “akar rumput” dapat selalu terjalin dengan baik. Hal ini juga diharapkan sebagai bentuk aksi cepat tanggap partai terhadap semua kondisi sosial politik yang terjadi. Elemen gardu yang ada di dalam posko ini juga dimanfaatkan sebagai basis pergerakan massa. Posko yang didirikan partai – partai politik sekarang ini memainkan peran gardu tradisional, yakni sebuah bangunan yang menjembatani hasrat orang – orang yang ingin menemukan kekuasaan, perlindungan, dan keamanan.
Belum selesai pembaca mencoba mngkonstruk kembali memori gardu pada zaman pasca reformasi. Abidin terus menteror pembaca dengan realita gardu pada zaman Orde Baru. Soeharto sebagai pimpinan tertinggi negara yang berlatar belakang militer mencoba menciptakan situasi negara yang aman, kondusif, dan terkendali melalui keberadaan gardu. Gardu didirikan dengan tujuan untuk mengendalikan aspek – aspek kehidupan sosial dan politik di lapangan demi menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat Indonesia.pada zaman ini tentara yang awalnya bertugas utuk mengawasi pergerakan kaum komunis di desa kini harus memantau beragam gerakan mencurigakan di kota melalui peran barunya sebagai hansip. Pemerintah Soeharto, meyakini ada beragam gerakan yang nantinya akan mengganggu stabilitas negara. Oleh karena itu, peran gardu dioptimalkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam fungsi pengawasan masyarakat. Gardu telah menjadi bagian dari aparat politik negara. Melalui peran gardu maka petugas keamanan atau hansip memiliki peran penting dalam mengidentifikasi siapa saja, apa saja, dan kapan saja hal – hal yang dapat mengganggu stabilitas negara agar dapat segera dicegah / dibekukan. Di tahun keruntuhan rezim Orde Baru, ketika beragam macam teror menghantui masayarakat, peran gardu sebagai salah satu pusat pertahanan negara pada saat itu memberi ide kepada kelompok – kelompok tertentu cara bagaimana mengkonseptualisasikan pertahanan swakarsa, khususnya saat negara balik menyerang mereka.
Pintu gerbang keberadaan gardu sudah sangat cantik dimainkan oleh Abidin Kusno di awal buku ini. Konsep ruang sosial yang berimbas pada beragam ruang simultan, saling bersinggung, bertemu, bergabung satu sama lain, atau eksis dalam relasi paradoks semakin membuktikan bahwa keberadaan gardu tidak hanya sebatas tempat “nongkrong”. Semakin dalam kita membaca buku ini, maka pembaca akan semakin memahami bagaimana sejarah awal keberadaan gardu itu sendiri. Gardu sudah mengalami banyak perubahan sepanjang waktu sebagai bentuk penyesuaian terhadap praktik – praktik sosial dan proyek – proyek politik. Konsep gardu itu sendiri ternyata sudah ada di Jawa sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Gardu pada masa itu ternyata berbeda dengan yang dipahami pada Orde Baru. Gardu biasa dijumpai di pintu masuk kediaman bangsawan atau orang – orang terkemuka. Kehadiran gardu ini bukan untuk memberi batas teritorial kekuasaan dibelakang gardu seperti dalam Orde Baru, namun menunjukan kuasa raja atau orang yang ada di dalamnya sebagai pusat kosmos dan keseimbangan. Dengan kata lai, gardu pada masa kolonialisme Eropa berfungsi hanya sebagai benteng para bangsawan sebagai pemegang kuasa.
Selanjutnya, pembentukan citra gardu yang cukup signifikan terjadi pada masa kolonialisme Belanda di zaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Daendels memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah yang jelas. Dia juga membangun Groote Postweg (Jalan Pos Besar). Kebijakan Daendels terkait jalan pos besar menjadikan gardu mudah dijumpai di sepanjang jalan dan berfungsi sebagai pos serta tempat pelindungan keamanan bagi pengguna jalan yang sebenarnya merupakan pejabat kolonial maupun kerajaan dan pedagang.
Pengaruh kekuasaan kolianial Belanda sangat berpengaruh terhadap fungsi gardu itu sendiri. Pada masa ini perkembangan gardu diakibatkan kebijakan pemerintah kolonial degan pembagian kelas berdasarkan unsur ras, bangsa, suku bangsa, dan unsur rasisme lainnya. Namun ada satu alasan penting lain yang perlu kita perhatikan, yaitu dengan beralihnya abad, rakyat jajahan sudah mulai mengukuhkan gardu sebagai simbol kebudayaan mereka yang bisa dimobilisasi untuk menentang otoritas polisi negara.
Setiap kuasa memiliki pengaruh terhadap pembentukan ruang – ruang yang ada. Hal tersebut sengaja diciptakan sebagai bentuk pengakuan terhadap kuasa yang ada. Pada saat pendudukan Jepang, gardu memanfaatkan fungsi ruangnya untuk mengawasi, mendidik, dan memobilisasi rakyat. Disisi lain, bagi masyarakat Tionghoa gardu memiiki makna yang berbeda pula. Berdasarkan memori kolektif komunitas Tionghoa yang ada, perwujudan gardu merupakan salah satu upaya utuk mempertahankan diri dari segala ancaman yang selama ini mereka rasakan di lingkungan masyarakat yang ada.
Perjalanan historis gardu dari masa ke masa menjadikan buku ini sangat menarik dibaca sebagai ragam bacaan yang menawarkan sudut pandang yang lengkap terkait keberadaan gardu. Dengan gaya penulisan yang lugas, Abidin berhasil memaparkan bahwa gardu masih menjadi instrumental dalam suatu pertunjukan simbolik dari kekuasaan negara, meskipun penampilannya justru menjadi pertanda lemahnya otoritas negara. Menurutnya gardu merupakan bentuk produk fisik budaya dan ritual sosial politik. Hal ini juga yang menjadikan ruang dengan beragam namanya tetap saja menggenggam kuasanya. Buku yang tidak tebal dan ukuran kecil ini memang sangat ringan jika dijadikan buku saku. Kelebihan lain buku ini adalah visualisasi gambar sehingga pembaca semakin mudah untuk mengikuti alur historis gardu dari awal hingga akhir. Adapun kelemahan dari buku ini adalah penggunaan kata gardu, pendhopo, dan pos. Disini saya melihat ketidak konsistenan penulis dalam penggunaan konsep gardu itu sendiri. Dengan ini saya dapat simpulkan, membaca tulisan Abidin sama halnya membaca bentangan kekuasaan yang pernah hinggap di Indonesia. Secara bahasa buku ini mudah untuk dimengerti namun sarat dengan analisa sehingga pembaca umum dapat menikmati buku ini, selain para akademisi baik sejarawan, arsitek, perencana kota, dan pemerhati masalah perkotaan.

0 komentar:

Posting Komentar