Penulis : Abidin Kusno
Penerjemah : Chandra Utama
Penerbit : Penerbit Ombak
Tahun terbit : 2007
Tebal halaman : 154 halaman
Gardu, apa yag
terlintas dalam otak kita ketika mendengar kata gardu? Bagi sebagian orang,
gardu hanyalah sebuah bagunan kecil berukuran 4-8 m2. Bangunan ini
biasa terdapat di pojok – pojok strategis lingkungan atau di depan pintu
gerbang perumahan dilengkapi dengan baragam atribut atau identitas gardu.
Memori masyarakat saat ini terkait gardu hanya sebatas fisik bukan fungsi
apalagi kronologis sejarah. Mungkin bagi masyarakat keberadaan gardu dirasakan
tidak memiliki banyak makna / fungsi. Ketika bicara tentang gardu maka yang terlintas
hanyalah bangunan kubus tempat para kaum laki – laki berbincang ketika sedang
bertugas jaga siskamling diselingi dengan guyonan politik terkait gosip yang
berkembang di televisi / gosip yang terjadi di daerahnya ditemani dengan
seduhan kopi panas sebagai pelepas dahaga dan kepulan asap rokok sebagai
pembuka kebuntuan.
Buku Abidin Kusno
dengan judul “Gardu di Perkotaan Jawa” mencoba menguliti kembali keberadaan
gardu di lingkungan sosial masyarakat Indonesia, khusunya Jawa. Gardu sebagai
ruang oleh penulis ternyata dapat diidentifikasi makna sosialnya sejak awal
keadaannya. Makna sosial gardu sendiri ternyata terus berubah mengikuti
kepentingan kuasa pada saat itu. Melalui struktur ruang gardu itu sendiri
penulis membuka tabir bahwa gardu sebagai ruang ternyata memiliki makna
simbolik tentang kekuasaan dan simbolisme.
Lewat karyanya ini,
Abidin Kusno mampu mengamati dan mengkaji jejak – rekam gardu di Jawa sejak
awal keadaannya di masa lalu
hingga keadaannya yang sekarang. Gardu yang ketika kita lewati kita anggap
bukan apa – apa dan mudah kita lupakan karena cuma sekadar pemanis jalan atau
pelengkap perempatan, ternyata memiliki sejarah yang ikut mengiringi
perkembangan peradaban kota – kota di Jawa selama berabad – abad. Melalui jejak
– rekam tentang gardu, pembaca seperti disajikan sebuah film sejarah unik yang
semua kronologis kejadian itu bergerak melalui satu objek yaitu gardu.
Ruang mengacu kepada
suatu ide abstrak, suatu ruang hampa atau mati yang diisi oleh berbagai tempat
manusia yang bersifat konkret dan spesifik. Berawal dari sinilah, Abidin
mencoba merekonstruksi keberdaan gardu sebagai ruang hampa yang kemudian oleh
manusia diatur fungsinya sesuai dengan kepentingan pemegang kuasa saat itu. Hal
ini semakin mengukuhkan teori bahwa seringkali ruang – ruang kolektif juga
diciptakan untuk merayakan berbagai kemajuan yang telah dicapai warga dan
sebagai monumen bagi tokoh publik.
Foucault berkata bahwa
seluruh sejarah tertulis ke dalam ruang – ruang. Pada saat yang sama ruang –
ruang tersebut akan menjadi sejarah kekuasaan. Dengan demikian konsep ruang
erat kaitannya dengan nilai sejarah yang ada. Inilah yang terjadi pada buku
karya Abidin Kusno tentang gardu. Sebagai bangunan berukuran kecil yang
bertempat di pinggiran struktur – struktur “monumental” gardu kerap diabaikan
oleh para konservasionis dan peneliti perkotaan. Tetapi menurut Abidin kusno,
gardu justu mempunyai signifikansi yang setara dengan monumen yang biasa
dijumpai karena ia memainkan peran penting dalam mengekspresikan pandangan –
pandangan politik, memuat ingatan – ingatan masyarakat, dan menentukan
identitas teritorial dan kolektif. Disinilah penulis mencoba menyajikan gardu
sebagai sebuah medium visual yang melalui ingatan – ingatan kolektif dibentuk
dan ditransformasikan melintasi tatanan – tatanan historis yang berbeda.
Keberadaan gardu di
Indonesia senantiasa bertransformasi fungsi dan kedudukannya. Semua itu
tergantung pada kuasa pada saat itu. Gardu pada masa pasca reformasi atau
setelah runtuhnya rezim Soeharto dimanfaatkan dengan sangat baik oleh PDIP
untuk menjadikan gardu sebagai basis kekuatan partai. Dengan dibangunnya posko
– posko di berbagai pelosok diharapkan komunikasi antara kalangan elit partai
dengan basis “akar rumput” dapat selalu terjalin dengan baik. Hal ini juga
diharapkan sebagai bentuk aksi cepat tanggap partai terhadap semua kondisi
sosial politik yang terjadi. Elemen gardu yang ada di dalam posko ini juga
dimanfaatkan sebagai basis pergerakan massa. Posko yang didirikan partai –
partai politik sekarang ini memainkan peran gardu tradisional, yakni sebuah
bangunan yang menjembatani hasrat orang – orang yang ingin menemukan kekuasaan,
perlindungan, dan keamanan.
Belum
selesai pembaca mencoba mngkonstruk kembali memori gardu pada zaman pasca
reformasi. Abidin terus menteror pembaca dengan realita gardu pada zaman Orde
Baru. Soeharto sebagai pimpinan tertinggi negara yang berlatar belakang militer
mencoba menciptakan situasi negara yang aman, kondusif, dan terkendali melalui
keberadaan gardu. Gardu didirikan dengan tujuan untuk mengendalikan aspek –
aspek kehidupan sosial dan politik di lapangan demi menjamin ketertiban dan
keamanan masyarakat Indonesia.pada zaman ini tentara yang awalnya bertugas utuk
mengawasi pergerakan kaum komunis di desa kini harus memantau beragam gerakan
mencurigakan di kota melalui peran barunya sebagai hansip. Pemerintah Soeharto,
meyakini ada beragam gerakan yang nantinya akan mengganggu stabilitas negara.
Oleh karena itu, peran gardu dioptimalkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah
dalam fungsi pengawasan masyarakat. Gardu telah menjadi bagian dari aparat
politik negara. Melalui peran gardu maka petugas keamanan atau hansip memiliki
peran penting dalam mengidentifikasi siapa saja, apa saja, dan kapan saja hal –
hal yang dapat mengganggu stabilitas negara agar dapat segera dicegah /
dibekukan. Di tahun keruntuhan rezim Orde Baru, ketika beragam macam teror
menghantui masayarakat, peran gardu sebagai salah satu pusat pertahanan negara
pada saat itu memberi ide kepada kelompok – kelompok tertentu cara bagaimana
mengkonseptualisasikan pertahanan swakarsa, khususnya saat negara balik
menyerang mereka.
Pintu
gerbang keberadaan gardu sudah sangat cantik dimainkan oleh Abidin Kusno di
awal buku ini. Konsep ruang sosial yang berimbas pada beragam ruang simultan,
saling bersinggung, bertemu, bergabung satu sama lain, atau eksis dalam relasi
paradoks semakin membuktikan bahwa keberadaan gardu tidak hanya sebatas tempat
“nongkrong”. Semakin dalam kita membaca buku ini, maka pembaca akan semakin
memahami bagaimana sejarah awal keberadaan gardu itu sendiri. Gardu sudah
mengalami banyak perubahan sepanjang waktu sebagai bentuk penyesuaian terhadap
praktik – praktik sosial dan proyek – proyek politik. Konsep gardu itu sendiri
ternyata sudah ada di Jawa sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Gardu pada
masa itu ternyata berbeda dengan yang dipahami pada Orde Baru. Gardu biasa
dijumpai di pintu masuk kediaman bangsawan atau orang – orang terkemuka.
Kehadiran gardu ini bukan untuk memberi batas teritorial kekuasaan dibelakang
gardu seperti dalam Orde Baru, namun menunjukan kuasa raja atau orang yang ada
di dalamnya sebagai pusat kosmos dan keseimbangan. Dengan kata lai, gardu pada
masa kolonialisme Eropa berfungsi hanya sebagai benteng para bangsawan sebagai
pemegang kuasa.
Selanjutnya,
pembentukan citra gardu yang cukup signifikan terjadi pada masa kolonialisme
Belanda di zaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Daendels
memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah yang jelas. Dia juga
membangun Groote Postweg (Jalan
Pos Besar). Kebijakan Daendels terkait jalan pos besar menjadikan gardu mudah
dijumpai di sepanjang jalan dan berfungsi sebagai pos serta tempat pelindungan
keamanan bagi pengguna jalan yang sebenarnya merupakan pejabat kolonial maupun
kerajaan dan pedagang.
Pengaruh
kekuasaan kolianial Belanda sangat berpengaruh terhadap fungsi gardu itu
sendiri. Pada masa ini perkembangan gardu diakibatkan kebijakan pemerintah
kolonial degan pembagian kelas berdasarkan unsur ras, bangsa, suku bangsa, dan
unsur rasisme lainnya. Namun ada satu alasan penting lain yang perlu kita
perhatikan, yaitu dengan beralihnya abad, rakyat jajahan sudah mulai
mengukuhkan gardu sebagai simbol kebudayaan mereka yang bisa dimobilisasi untuk
menentang otoritas polisi negara.
Setiap
kuasa memiliki pengaruh terhadap pembentukan ruang – ruang yang ada. Hal
tersebut sengaja diciptakan sebagai bentuk pengakuan terhadap kuasa yang ada. Pada
saat pendudukan Jepang, gardu memanfaatkan fungsi ruangnya untuk mengawasi,
mendidik, dan memobilisasi rakyat. Disisi lain, bagi masyarakat Tionghoa gardu
memiiki makna yang berbeda pula. Berdasarkan memori kolektif komunitas Tionghoa
yang ada, perwujudan gardu merupakan salah satu upaya utuk mempertahankan diri
dari segala ancaman yang selama ini mereka rasakan di lingkungan masyarakat
yang ada.
Perjalanan
historis gardu dari masa ke masa menjadikan buku ini sangat menarik dibaca sebagai
ragam bacaan yang menawarkan sudut pandang yang lengkap terkait keberadaan
gardu. Dengan gaya penulisan yang lugas, Abidin berhasil memaparkan bahwa gardu
masih menjadi instrumental dalam suatu pertunjukan simbolik dari kekuasaan
negara, meskipun penampilannya justru menjadi pertanda lemahnya otoritas
negara. Menurutnya gardu merupakan bentuk produk fisik budaya dan ritual sosial
politik. Hal ini juga yang menjadikan ruang dengan beragam namanya tetap saja
menggenggam kuasanya. Buku yang tidak tebal dan ukuran kecil ini memang sangat
ringan jika dijadikan buku saku. Kelebihan lain buku ini adalah visualisasi
gambar sehingga pembaca semakin mudah untuk mengikuti alur historis gardu dari
awal hingga akhir. Adapun kelemahan dari buku ini adalah penggunaan kata gardu,
pendhopo, dan pos. Disini saya melihat ketidak konsistenan penulis dalam
penggunaan konsep gardu itu sendiri. Dengan ini saya dapat simpulkan, membaca
tulisan Abidin sama halnya membaca bentangan kekuasaan yang pernah hinggap di
Indonesia. Secara bahasa buku ini mudah untuk dimengerti namun sarat dengan
analisa sehingga pembaca umum dapat menikmati buku ini, selain para akademisi
baik sejarawan, arsitek, perencana kota, dan pemerhati masalah perkotaan.
0 komentar:
Posting Komentar